News Update :

inilah wanita perekam tragedi tsunami

Tuesday 7 January 2014

Kedahsyatan bencana gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam 26 Desember 2004 lalu, yang kita lihat di televisi, adalah hasil rekaman video amatir Cut Putri, gadis Aceh kelahiran Papua yang menamatkan kuliah di Fakultas Kedokteran di Universitas Padjajaran Bandung.

Sebuah rekaman yang dihasilkan dari perjuangan berat dan sarat dengan kisah-kisah spiritual yang menggugah. Kepada NEBULA (kini ESQ Magazine Online), ia kisahkan semuanya, secara utuh dengan harapan, ”Agar kita bisa mengambil hikmah dari peristiwa tersebut,” ujarnya. Berikut penuturannya:
Seminggu sebelum kejadian, aku datang ke Banda Aceh dari Jakarta. Kami sekeluarga datang karena tiga keperluan: pertama, akan diadakan acara pernikahan sepupu. Kedua, Abi (bapak, Red) Putri yang memberikan materi pendidikan di DPRD. Ketiga, untuk mengisi liburan akhir tahun.
Tanggal 26 Desember, kami berkumpul di rumah paman Sayyid Hussein, dan siap-siap berangkat untuk acara ngunduh mantu (kunjungan keluarga ke rumah mertua, Red). Suasana pagi penuh keceriaan, tak ada tanda-tanda akan datang bencana besar. Tepat pukul 08.00 WIB, kami sarapan pagi, saat itu pula guncangan gempa mulai terasa.
Aku merasakan gempa saat menuruni anak tangga. Teriakan dari orang-orang sekitar pun mulai terdengar. “Gempa... gempa... gempa...” Awalnya guncangan gempa pelan, tiba-tiba guncangan berubah menjadi keras sekali.
Kerasnya guncangan ini membuat ibuku yang sudah tertelungkup di tanah tergeser tubuhnya. Kami berusaha untuk berpegangan di pagar rumah agar dapat bertahan dari guncangan.
Gempa terus berlangsung, kadang pelan, tiba-tiba keras kembali. Kokohnya bangunan rumah kami, membuat kerusakan yang ditimbulkan kecil sekali. Tetapi, kondisi di dalam rumah sudah tidak bisa digambarkan. Barang-barang berjatuhan memenuhi lantai.
Saat gempa terus terjadi, terlintas dalam pikiran untuk mengambil handycam. Akhirnya handycam berhasil didapatkan setelah berjalan merangkak guna menahan kerasnya guncangan gempa. Suasana saat gempa di halaman rumah berhasil kurekam.
Gempa terus berlangsung dan aku sekeluarga serta para tetangga masih berkumpul di halaman rumah menunggu gempa mereda. Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar seperti suara mesin mobil, semakin lama semakin besar suara tersebut terdengar. “Suara apa itu, Putri?” tanya tante. Aku pun tidak tahu suara apa itu.
Saat itulah, abi yang sedang berpegangan pagar berdekatan denganku mengatakan bahwa jika gempanya sebesar ini maka dapat menimbulkan tsunami. Dalam hati, aku membenarkan apa yang dikatakan abi, karena kami sekeluarga sudah terbiasa dengan gempa saat tinggal di Papua. Jadi, kami sudah berpengalaman jika gempanya sebesar skala tertentu akan menyebabkan air pasang dengan ketinggian tertentu. Hampir setiap minggu kami dilanda gempa di papua. Aku akhirnya berkesimpulan, tsunami akan segera terjadi.
Semakin kerasnya suara yang menderu tersebut membuat orang-orang malah berlarian menuju ke sumber suara, untuk mengetahui suara apa sebenarnya. Suara tersebut sudah bukan seperti deru mesin mobil lagi, tapi seperti mesin pesawat terbang yang sedang melintas dekat di atas kepala.
Tiba-tiba, orang-orang yang tadinya mendekati sumber suara berlarian menjauhi pantai menuju ke arah rumah. Terdengar teriakan ketakutan, ”Air laut naik... air laut naik...!” Semua orang panik. Orangtua sudah tidak ingat lagi anaknya, mereka terpisahkan karena ingin menyelamatkan diri. Ada yang terinjak-injak, bahkan ada yang baru mendengar suaranya saja, jatuh pingsan.
Melihat suasana panik tersebut, terdengar teriakan Abi memerintahkan untuk segera naik ke lantai dua rumah. Sebagian ada yang naik, sebagian lagi tidak karena bingung. Jika naik, takut rumah roboh karena gempa terus terjadi, tapi kalau tidak naik, akan terkena air laut.
Saat itu, aku sedang berada di dalam rumah, mengambil gambar kondisi rumah yang berantakan. Semua keluarga sudah berada di lantai dua. Saat itu, aku justru keluar rumah untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku dipanggil-panggil untuk segera naik. Ummi (Ibu, Red) sampai menangis memanggil-manggil, “Putri... Putri... Putri...” Keluargaku sampai seperti itu karena mereka melihat betapa besarnya air laut yang sedang menuju ke rumah.
Ketika sudah di luar, barulah aku memahami ketakutan keluarga akan keselamatan diriku. Aku melihat air laut yang tinggi kurang lebih delapan meter, berwarna hitam dan tegak lurus, di belakang rumah tetangga. Jaraknya dekat, hanya dalam hitungan detik dapat menyapu semua yang ada didekatnya karena saking cepatnya air tersebut. Kecepatannya sekitar 75 km/jam. Bahkan, untuk berpikir pun, orang tak sempat melakukannya.
Aku segera lari ke lantai dua. Tapi saat itu juga aku melihat ada lima anak usia kecil yang berdiri terdiam di depan rumah. Mereka bingung, apa yang harus dikerjakan. Ingin naik ke atas, tapi orangtua mereka justru lari ke luar rumah.
Dalam hitungan detik, aku segera lari dan menggendong lima anak itu, tiga di kanan dan dua di kiri. Dalam kondisi normal, itu bukanlah pekerjaan mudah. Tapi, Allah Maha Besar, aku tak merasa berat, bahkan terasa terbang saat membawa anak-anak tersebut ke atas.
Setelah itu, aku turun lagi untuk melihat apakah masih ada orang di bawah. Semuanya berlangsung cepat. Kalau dihitung, saat menggendong lima anak, satu detik, saat turun lagi, satu detik. Betul-betul tak bisa diterima akal sehat. Tapi itulah yang terjadi.
Karena sudah tidak ada orang lagi, aku segera naik. Ketika menginjak anak tangga kedua, aku terjatuh karena dorongan air yang mulai masuk. Aku berusaha menyelamatkan handycam, karenanya posisi tangan kanan ke atas dan tangan kiri di bawah menahan tubuh. Aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa saat itu. Di belakang, air laut siap menerjang. Kondisinya betul-betul kritis.
Saat itulah keajaiban terjadi. Tiba-tiba tubuhku terasa diangkat dan seolah-olah ada suara yang menyemangati untuk naik. “Ayo... Ayo... Ayo...” Dalam hitungan detik, aku sudah ada di lantai dua dengan posisi sama saat terjatuh. Aku betul-betul tidak sadar dan tidak mengetahui bagaimana bisa sampai ke atas dengan selamat. Yang jelas, bajuku tetap basah karena terkena air saat terjatuh di bawah.
Suasana di lantai dua mencekam, karena air sudah mulai masuk. Kami merasa inilah saat-saat akhir kehidupan kami di dunia. Di balkon, semua orang saling menangis berpelukan dan saling memohon maaf atas segala kesalahan yang dilakukan.
Saat itu, aku tidak mau berdiam diri, aku harus tetap produktif walaupun mungkin ini saat-saat akhir kehidupan. Karenanya, aku berjuang keras untuk tetap merekam semua kejadian yang ada, selama mungkin dan sestabil mungkin. Aku tak akan menekan tombol off selama masih hidup. Kalaupun akhirnya aku tersapu tsunami, aku tetap dalam keadaan merekam. Do’aku hanya satu, ”Ya Allah, kalaupun aku meninggal saat ini, aku ikhlas. Hanya satu yang aku inginkan, selamatkan rekaman ini agar semua orang bisa melihat betapa Maha Kuasanya Engkau.”
Allah memang Maha Besar, walaupun terjangan tsunami begitu keras dan guncangan gempa terus berlangsung sehingga membuat rumah bergoyang, aku masih mampu merekam semua kejadian, tak terlewatkan sedikitpun. Yang lebih mengherankan, lantai dua rumah kami tidak sampai penuh dimasuki air, hanya tergenang sedikit saja di beberapa bagian. Padahal, rumah tetangga kami yang juga berlantai dua terendam air sampai ke atap.
Selang beberapa waktu, air mulai sedikit surut, namun ketinggiannya masih mencapai atap rumah berlantai satu. Tak lama kemudian, kembali datang gelombang kedua yang tak kalah derasnya. Aku berhasil merekamnya. Saat itu aku berpikir, kali ini mungkin kami sekeluarga sudah tidak bisa selamat lagi. Aku berusaha semaksimal mungkin merekam semuanya. Rumah kami dihantam gelombang sampai empat kali karena jaraknya hanya 1 km dari pantai. Lebih kurang 1 jam kami merasakan dahsyatnya tsunami.
Setelah air surut, aku mengajak semua orang turun karena khawatir gempa susulan akan datang. Aku turun dan berjalan terus tanpa melihat ke belakang. Suasana hening sekali, seperti kota mati. Di sekeliling, hanya terlihat mayat-mayat dengan kondisi mengenaskan. Ummi sampai sibuk mencubit tubuhnya, apakah masih hidup atau tidak.
Aku melewati sebuah sungai yang jembatannya terputus. Aku terjun ke sungai tersebut untuk menyeberanginya. Sungai dipenuhi bukan hanya mayat, tapi juga orang yang masih hidup dan sekarat. Sepengetahuanku, sungai tersebut dalam, tapi saat aku lewati ternyata dangkal. Aku benamkan tangan ke dalam air, ada sesuatu yang aku pegang. Saat diangkat ternyata tangan manusia.

Aku juga melihat tidak jauh dari tempatku berada, ada orang yang hanya terlihat kepalanya saja dan membutuhkan pertolongan. Aku berusaha menolongnya dan memintanya untuk bertahan. Ketika aku berhasil mendekatinya dan meraih rambutnya, ternyata hanya ada kepala saja, tangan, kaki dan tubuhnya sudah tidak ada. Padahal, saat aku melihatnya, kepala tersebut seperti hidup. Matanya masih berisi dan seperti minta pertolongan.
Saat kami terus berjalan, tiba-tiba, ada teriakan, ”Air naik... air naik... air naik.” Kami panik dan berhamburan tak tentu arah untuk menyelamatkan diri. Aku dan keluarga pun terpisah. Aku hanya bisa pasrah dan memohon agar bisa dipertemukan kembali dengan keluargaku.
Malam itu, aku dan istri Pak Sayyid Hussein menginap di gunung Seulawah. Tak pernah terbayangkan aku menginap di gunung, tanpa makan dan minum.
Aku kemudian berusaha membawa hasil rekaman ke Jakarta, walaupun kondisi Banda Aceh saat itu tidak normal. Aku turun gunung dengan berjalan kaki, melewati ribuan mayat yang anehnya beraroma harum, tidak busuk.
Aku terus berjalan dan berusaha mencari keluarga yang terpisah. Alhamdulillah, aku menemukan keluargaku. Dengan ijin keluarga, aku akhirnya pergi ke Jakarta.
Keajaiban lain terjadi saat hendak ke Jakarta. Aku memiliki tiket untuk pulang ke Jakarta dengan jadwal penerbangan hari Senin. Allah Maha Besar, tiket tersebut tetap utuh, tidak hilang atau basah. Hanya masalahnya, tiket tersebut sudah tidak berlaku lagi, karena aku baru sampai bandara hari Selasa. Saat Senin ada di kota, tak mungkin aku mengurusnya karena tidak punya uang sepeserpun. Jangankan uang, akupun tidak makan selama tiga hari dan baju berlumuran lumpur dan darah.
Sesampai di bandara, suasananya ramai sekali, ribuan orang berkumpul di bandara untuk mengungsi. Aku hanya mampu berdoa agar dengan tiket yang sudah kadaluarsa dapat terbang ke Jakarta. Aku hanya ingin kaset rekaman sampai di Jakarta dan disaksikan masyarakat agar dapat menjadi pelajaran.
Segera aku menuju ke pemeriksaan tiket dan tak lupa membaca bismillah. Ajaib, tiket tersebut langsung dirobek dan aku dipersilakan untuk jalan. Begitu pula saat di dalam pesawat, aku duduk sesuai dengan nomor seat yang ada di tiket.
Selama perjalanan, tak ada penumpang yang duduk dengan nomor tempat duduk yang sama. Ini betul-betul keajaiban dari Allah. Di dalam pesawat, para penumpang tidak ada yang bicara, semuanya diam. Demikian pula ketika tiba di Bandara Soekarno Hatta, semua orang memandang aneh karena pakaian dan tubuhku yang kotor dan berlumuran darah. Muka pun jadi hitam seperti terbakar karena gelombang air yang menyapu seperti cairan kimia. Baunya khas dan menyebabkan karat. Besi-besi yang terkena langsung mendidih dan berwarna kuning.
Alhamdulillah, setelah melewati perjuangan berat, aku sampai di rumah dan secepat itu pula menyerahkan ke stasiun televisi terdekat dari rumah. Tak ada pertimbangan lain, aku hanya berpikir rekaman ini harus segera dilihat oleh masyarakat dan berharap banyak manfaat yang bisa dipetik.
Semua keajaiban yang terjadi sulit dipercaya. Aku yakin, ini semua karena pertolongan Allah. Aku juga semakin yakin kasih sayang Allah itu besar sekali kepada hamba-Nya.
Hanya berselang tiga hari setelah musibah, aku langsung mengkoordinir dan mengumpulkan bantuan untuk dibawa ke Aceh. Aku tak peduli dengan kelelahan fisik dan psikologis yang mendera.
Hingga sekarang, aku sering bolak-balik Jakarta-Banda Aceh karena aku dibantu teman-teman terus berupaya semaksimal mungkin membantu mengurangi penderitaan rakyat Aceh.
Selain menyalurkan bantuan dari berbagai pihak termasuk NGO (LSM) asing, aku juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan dakwah seperti menyelenggarakan donor darah dan ceramah-ceramah agama yang membangkitkan semangat.
Aku juga mengadakan survey dengan cara terjun langsung ke masyarakat yang kebanyakan masih berada di tenda-tenda darurat. Ini kulakukan agar secara langsung dapat mendengar aspirasi, keluhan yang berkembang di lapangan untuk kemudian disampaikan kepada pembuat kebijakan.
Alhamdulillah, apa yang aku lakukan mendapat respon positif dari masyarakat. Mereka antusias dengan kegiatan yang kulakukan. Aku juga mendirikan yayasan yang bernama Cut Putri Foundation. Tak ada maksud untuk membesarkan nama pribadi. Aku hanya berharap, dengan yayasan ini dan bantuan dari pihak lainnya, semoga bisa membuat masyarakat Aceh bangkit dan menyongsong masa depan yang lebih cerah.

(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Nebula/ESQ Magazine edisi cetak No. 13/Tahun II/2005, dengan sedikit penyesuaian)
Share this Article on :

1 comments:

Zulkarnain hr said...

Semangat dokter memang luar biasa hebat... Semoga terbuka jalan utk segala usaha mulia bu dokter... Aamiinn

Post a Comment

 

© Copyright Teknologi 2012 -2014 | Design by MIrZA_stw | Published by TEKNOLOGI | Powered by Blogger.com.